Perubahan system politik dari sentralistik ke desentralistik pada era setelah orde baru mendorong perubahan cara para elit dalam memperoleh kekuasaan. Otonomi daerah adalah tonggak awal masa baru dimana daerah memperoleh diskresi yang lebih luas dalam mengelola daerahnya.
Desentralisasi disusun sebagai usaha mencapai proses demokratisasi yang lebih baik di daerah. Proses demokrasi yang baik diharapkan akan mendorong pada kesejahteraan yang meningkat di masyarakat. Elit politik di daerah menyikapi perubahan ini dengan mengubah pendekatan dalam meraih kekuasaan. Alex Noerdin dan Syariah Oesman adalah dua tokoh Orde Baru yang berhasil memanfaatkan strategi baru untuk mempertahankan dan memperoleh kekuasaan di era otonomi daerah.
A. Alex Noerdin
1. Profil Alex Noerdin
Alex Noerdin adalah putra daerah Sumatera Selatan yang dilahirkan di Palembang tanggal 9 September 1950. Politisi Golkar ini adalah birokrat zaman orde baru yang berhasil memenangkan pemilihan bupati kabupaten Muba pada tahun 2001. Alex memperoleh penghargaan Manggala Karya Kencana pda tahun 2002 dan Satya Lencana Wirakarya pada tahun 2003. Alex kini menjabat sebagai gubernur Sumatera Selatan setelah memenangkan Pilkada Langsung Gubernur Sumatera Selatan.
2. Profil Kabupaten Musi Banyuasin (Muba)
Musi Banyuasin (Muba) adalah salah satu kabupaten di Sumatera Selatan dengan ibukota Sekayu. Muba terkenal dengan cadangan minyak dan gas alam serta wilayah hutan yang masih tersisa di Sumatera Selatan. Pada tahun 2001, Muba menyumbang 82,7 juta dollar AS ke Pemerintah Pusat dalam bentuk royalty sumber daya alam. Komposisi DPRD hasil Pemilu tahun 1999 menunjukan lima fraksi penguasa yaitu PDI-P (16 kursi), Golkar (10), Koalisi Partai Islam (9), Fraksi Pembaruan (5) dan Fraksi TNI/Polri (5).
Mesipun memiliki kekayaan alam yang melimpah namun jumlah penduduk miskin di Muba yang mencapai 50% merupakan jumlah yang tertinggi di antara kabupaten lain di Sumatera Selatan. Jumlah buta huruf yang mencapai 56% di Muba juga merupakan angka tertinggi di antara kabupaten lain di Sumatera Selatan. Kondisi tersebut didorong karena banyaknya lahan dijadikan konsensi kebun sawit dan industry kayu sehingga masyarakat kehilangan tanah garapan. Muba juga terkenal dengan bajing loncat yang beroperasi di jalanan kabupaten Muba.
3. Strategi Alex Noerdin
Dalam pemilihan bupati Muba tahun 2001, Alex Noerdin dicalonkan oleh koalisi partai Islam melawan calon dari PDI-P dan Golkar. Dengan komposisi partai di DPRD yang merata maka para kandidat bupati harus bisa memenangkan hati para calon anggota DPRD. Kondisi itu mendorong munculnya politik uang untuk membeli suara para anggota dewan. Alex menggunakan beberapa cara untuk memenangkan pemilihan bupati Muba yaitu sebagai berikut :
a) Mengembangkan jaringan pendukung yang beragam. Alex merekrut anggota tim sukses dari organiasi afiliasi Golkar seperti ketua KNPI dan Pemuda Pancasila. Anggota tim suksesnya yang lain adalah Hendri Zainudin, penggiat LSM, yang mengorganisasikan daftar organisasi kemasyarakatan yang mendukung Alex Noerdin.
b) Menggunakan politik uang untuk menggalang dukungan. Nopianto, ketua Pemuda Pancasila, secara terbuka menyatakan bahwa idealisme reformasi harus dikombinasikan dengan politik praktis yaitu uang. Dia menyebutkan bahwa demonstrasi adalah cara untuk membangun masyarakat demokratis dan uang adalah cara yang mudah untuk mengajak orang untuk ikut berdemonstrasi. Hendri Zainudin menuturkan bahwa dia mengundang para anggota DPRD Muba di sebuah hotel mewah di Jakarta dan menawarkan satu buah mobil Mitsubishi untuk setiap suara mereka.
c) Mengisolasi para anggota DPRD yang telah dilobi. Strategi ini dilakukan dengan menginapkan mereka di sebuah hotel mewah di Jakarta pada H-3 dan kembali ke Muba tiga jam sebelum pemilihan. Strategi ini dilakukan untuk menjaga para anggota DPRD dari lobi kandidat lain.
d) Pasca Pemilu 2004, Alex menyadari bahwa pemilih di Muba bukanlah pemilih yang loyal pada satu partai tertentu. Perubahan pola dari pemilihan perwakilan melalui DPRD menjadi pemilihan langsung mendorong perubahan pola pendekatan dalam memperoleh dukungan. Alex mengembangkan jaringan patronase dengan membagikan “kemurahan hati” kepada seluruh partai, merekrut para mantan aktivis dan mendekati para ulama di pesantren.
4. Pemerintahan Alex Noerdin di Kabupaten Muba
Alex Noerdin meluncurkan program lima tahun “ Muba Sejahtera 2006” setelah memenangkan pemilihan bupati pada tahun 2001. Alex menjanjikan beberapa hal yaitu fasilitas listrik dan air bersih ke desa-desa, pembangunan puskesmas dan klinik, asuransi jiwa dan kesehatan bagi penduduk dan program “ Wajib Belajar Sembilan Tahun” dengan menghapuskan biaya sekolah. Alex menyatakan bahwa pembangunan Muba harus dibiayai oleh sumber daya alam Muba. Oleh karena itu dia mendirikan kemitraan dengan swasta yaitu PT Petro Muba yang mengelola sumur-sumur minyak liar zaman kolonial dan PT Gada Kilang yang menerima penjualan minyak dari koperasi pengelola sumur minyak masyarakat.
Penulis buku “ Indonesia dikhianati “ melakukan perjalanan dan wawancara untuk melihat realisasi program “Muba Sejahtera 2006”. Dalam pencariannya, dia menemukan beberapa hal yaitu :
a) Tidak ada pegawai di Puskesmas yang mudah dijangkau masyarakat meskipun biaya pengobatan di RS Sekayu sudah digratiskan.
b) Masih adanya pungutan khusus di sekolah dan kurangnya tenaga pengajar.
c) Korupsi dana proyek pembangunan desa dan program beras miskin oleh kepala desa meskipun gaji kepala desa dan dewan desa telah ditingkatkan hingga dua kali lipat. Para anggota dewan desa tidak bisa diharapkan karena mereka ada dalam satu kelompok dengan kepala desa. Selain itu, ada keluhan kepada KPK dari para pegawai di kabupaten Muba karena adanya upaya suap oleh para kontraktor proyek-proyek pembangunan.
d) Pembangunan hanya difokuskan untuk persiapan PON 2004.
e) Proyek kemitraan yang masih jalan ditempat karena pada kunjungan tersebut kantor PT Petro Muba masih kosong dan jalanan menuju sumur-sumur minyak yang sangat memprihatinkan.
Meskipun demikian, Alex Noerdin menyatakan bahwa pemerintahannya berhasil memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dia mengklain 44% desa sudah teraliri listrik, 47% desa sudah memperoleh air bersih dan kemiskinan menurun hingga 32%. Pembangunan sarana olahraga dan lapangan pesawat terbang akan menarik minat investasi asing.
5. Sengketa Lahan di Muba
Kemiskinan di Muba berkaitan dengan ketiadaan lahan yang digarap oleh masyarakat. Hal yang menjadi pokok permasalahan adalah tidak diakuinya hak atas tanah warga oleh Pemerintah. Pemerintah memberikan konsensi kepada perkebunan kelapa sawit atau perusahaan kayu. Skema proyek plasma hanya menguntungkan petani transmigran yang telah mapan. Contoh kasus yang ditangani LBH Palembang adalah kasus pak Jafar. Pak Jafar memperoleh tanah di lokasi transimgrasi pada saat dia pension namun tanah tersebut di ambil alih oleh proyek konsensi. Dengan bantuan LBH, Pak Jafar dan beberapa petani yang tidak memiliki tanah garapan mendapat hak izin menggarap hutan lindung yang habis dibabat pembalak liar dari Pemkab Muba. Sayangnya, Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menuduh perkampungan Pak Jafar sebagai perkampungan illegal karena berada di area hutan lindung. Meskipun Pak Jafar dkk memperoleh dokumen izin penggarapan namun akhirnya keputusan KLH dan Pemkab Muba mengharuskan tanah mereka dijadikan lahan konsensi.
Para petani mempertanyakan sikap pemerintah yang memberikan konsensi lahan yang demikian luas kepada perusahaan sedangkan hak masyarakat atas tanah tidak dijamin. Mereka menilai program Muba Sejahtera 2006 hanya untuk kesejahteraan kaum berada dan bukan yang tidak punya.
B. Syahrial Oesman
1. Profil Syahrial Oesman
Syahrial Oesman dilahirkan di Palembang pada 25 Mei 1955. Syahrial pernah menjabat sebagai ketua PU di Ogan Komering Ulu. Syahrial Oesman berafiliasi dalam partai PDI-P. selain menjabat sebagai bupati Ogan Komering Ulu, dia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan periode 2003-2008. Syariah Oesman memperoleh penghargaan nasional untuk usahanya dalam mengembangkan koperasi desa, pangan dan keluarga berencana.
2. Strategi Syahrian Oesman Dalam Pemilihan Bupati OKU dan Gubernur Sumatera Selatan
a) Melakukan politik uang. Syahrial OEsman adalah kandidat bupati OKU pada pemilihan tahun 2000 dengan sumber keuangan yang kuat. Sebagai mantan kepala kantor PU OKU, dia berhasil mengembangkan jaringan para wiraswastawan di OKU. Dalam pemilihan gubernur Sumatera Selatan, berkembang rumor bahwa satu suara untuk Syahrial Oesman seharga Rp. 150 juta. Syahrial juga mendanai demonstrasi bagi organisasi yang mendukung pencalonannya.
b) Mengembangkan suatu jaringan pendukung berupa para wiraswastawan OKU, para pengusaha OKU, para kontraktor se Sumatera Selatan dan politisi mapan seperti Taufik Kiemas. Hubungan tersebut juga menyediakan pendanaan dalam proses pencalonannya baik pada saat menjadi kandidat bupati maupun gubernur. Pihak-pihak yang disebut ikut mendanai Syahrial antara lain keluarga Ibnu Sutowo, Dudhie Makmum Murod, Ramli Hasan Basri, para bos judi dan raja kayu.
c) Mengembangkan jaringan para birokrat dengan menambah jumlah camat dan kepala desa yang digaji.
d) Memecah belah suara fraksi yang dominan ke Rosihan Arsyad dalam pemilihan gubernur Sumatera Selatan tahun 2003 di DPRD dengan mendekati Letjen Ryamizard Ryacudu yang berhasil mendesak perwira TNI di Fraksi TNI/Polri. Selain itu, Syahrial juga berpasangan dengan Mahyudin yang aktif di HMI bersama Fuad Bawazier sehingga memperoleh jalur ke fraksi reformasi PAN. Syahrial juga memecah suara Golkar yang mendukung Rosihan dengan merekrut Edy Santana Putra yang aktif di KNPI dan FKPPI. Kedekatannya dengan Taufik Kiemas memecah dukungan fraksi PDI-P sehingga ada yang beralih dukungan ke Syahrial Oesman.
3. Sengketa Lahan
Hampir sama dengan daerah lain di Sumatera Selatan, lahan menjadi salah satu penyebab kemiskinan di OKU. Para petani kehilangan tanah garapan karena lahannya dijadikan konsensi pengelolaan kepada perusahaan kelapa sawit. LBH mencatat ada Sembilan belas kasus sengketa lahan di OKU. Dalam penelusuran ke tiga desa berkonflik di OKU, penduduk desa menuturkan bahwa Syahrial Oesman menekan mereka agar menerima tawaran PT Mitra Ogan dalam kesepakatan system inti plasma. Para petani mendapat paket/kaveling lahan namun mereka harus menyetujui kebijakan dan peraturan yang ditentukan perusahaan. Para petani mengeluhkan lahan yang mereka terima tidak sepadan dengan apa yang diambil alih, ketentuan yang merugikan mereka hingga ketidakbebasan dalam mengelola lahan.
PT Mitra Ogan juga membangun pabrik di lahan desa tanpa perjanjian dengan desa serta masalah limbah yang dibuangnya. PT Mitra Ogan menyepakati pembayaran ganti rugi atas kerusakan lingkungan namun mereka tidak pernah menepatinya. Tim berupa camat yang dibentuk oleh Syahrial Oesman tidak pernah menghasilkan suatu solusi atas permasalahan tersebut. Penduduk merasa bahwa tidak ada bantuan yang memadai dalam pengambilalihan lahan yang mereka alami.
Meskipun Syahrial dikenal dengan program pembangunan dan pemberdayaan desa namun kucuran dana pembangunan desa tidak banyak mengubah nasib masyarakat desa. Para petani merasa bahwa program tersebut tidak banyak melayani kepentingan mereka dan hanya focus pada kepentingan dunia usaha. Meskipun demikian Syahrial mengklaim bahwa apa yang dia lakukan masih lebih baik daripada apa yang dilakukan pada masa Orde Baru.
C. Simpulan
Kasus-kasus sengketa lahan di Muba dan OKU serta aksi politik yang dilakukan oleh Alex Noerdin dan Syahrial Oesman menunjukan bahwa otonomi daerah yang dimaksudkan untuk memeratakan pembangunan bisa dimanfaatkan oleh para politisi ambisius dan wiraswastawan untuk membangun jaringan kekuasaan baru, memegang kendali atas sumber daya setempat dan dana pemerintah. Simbiosis antara dunia usaha dengan politik memang saling menguntungkan karena politisi membutuhkan dana untuk memperoleh kekuasaan baik pada saat pemilihan perwakilan maupun pemilihan langsung sedangkan pengusaha memperoleh perlakukan khusus seperti hak konsensi lahan, tender proyek maupun jaminan politik atas tindakan mereka. Hal inilah yang dikritik Vedi Hadiz bahwa sumber daya public dibagikan untuk tujuan penumpukan modal swasta. Meskipun demikian, kasus Alex Noerdin dan Syariah Oesman menunjukan bahwa partai politik bukan alat mobilisasi yang efektif sehingga uang menjadi sebuah alat yang lebih efektif. Kondisi ini memperburuk perilaku korupsi di Sumatera Selatan.
No comments:
Post a Comment