Nurdin/09460004831
Pendahuluan
Masyarakat di daerah Pasir Jambu, Ciwidey memetik teh di areal perkebunan pada pagi hari seperti biasa. Selasa (23/2/2010) sepertinya tidak diduga menjadi hari naas bagi sebagian warga pemetik teh. Pada saat mereka beraktivitas, tiba-tiba saja tanah merah merangsek dari atas bukit menutupi areal pusat kegiatan masyarakat pemetik teh perkebunan Dewata. Hingga tulisan ini disusun, jumlah korban masih belum diketahui dan upaya evakuasi korban yang tertimbun masih dilakukan.
Jumlah korban akibat bencana alam dari tahun 1997 hingga 2009 telah memakan korban jiwa hingga 151.277 jiwa. Bencana paling banyak terjadi adalah banjir sebanyak 35% dari seluruh bencana yang tercatat dalam Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) sedangkan tanah longsor sebanyak 11%. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan bahwa kerusakan ekologis sebagai penyebab banyaknya bencana yang menimpa Indonesia. Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah menyebutkan bencana banjir dan longsor yang merata sepanjang tahun 2003 sebagai akibat ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang antara manusia dengan kepentingan ekonomi dan alam dengan kelestariannya.
Belajar dari longsor Ciwidey bahwa longsor terjadi karena ketidakmampuan daerah Bandung Utara menampung air hujan. Belum dapat dihitung secara pasti kerugian akibat longsor tersebut baik jiwa maupun materil. Namun jumlah korban jiwa dan kerugian materiil yang mencapai Rp 4 triliun akibat bencana alam pada tahun 2009 menuntut peningkatan perhatian pemerintah pada pembangunan berbasis lingkungan hidup dan penataan lingkungan hidup. Tulisan ini disusun untuk mengetahui apakah masalah lingkungan hidup menjadi hal strategis dan prioritas dalam rencana pembangunan pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan SBY-Boediono.
Pembahasan
APBN mencerminkan aktivitas yang akan dilaksanakan pemerintah baik dalam mengumpulkan sumber daya ekonomi dari masyarakat secara memadai dan efiisen maupun pengalokasian sumberdaya tersebut secara bertanggungjawab, efektif dan efisien. Manajemen keuangan pemerintah bertanggungjawab untuk menjaga disiplin fiskal, mengalokasikan sumberdaya sesuai dengan prioritas pemerintah dan melaksanakan pengeluaran tersebut secara efisien. Proses pencapaian manajemen keuangan pemerintah tercermin pada saat penyusunan APBN. APBN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menunjukan prioritas pemerintah.
Menetapkan lingkungan hidup sebagai prioritas pembangunan tercermin dalam APBN dan RPJM. Prioritas pemerintah pada lingkungan hidup didorong beberapa hal yaitu jumlah kasus bencana alam yang semakin meningkat, besarnya kerugian akibat bencana alam baik kerugian materil dan korban jiwa, komitmen pemerintah pada Millenium Development Goals (MDGS) ketujuh yaitu Ensure Enviromental Sustainability dan janji kesepuluh SBY-Boediono dalam kampanye Pemilu 2009. Keputusan penetapan lingkungan hidup sebagai prioritas tidak semata-mata merupakan kesadaran eksekutif namun membutuhkan komitmen dari para pemangku kepentingan APBN terutama legislatif. Proses penyusunan dan penetapan anggaran menjadi hal yang paling menantang dalam pengelolaan manajemen keuangan karena distribusi sumberdaya dianggap sebagai hal yang kurang teknis dalam proses penganggaran.
Prioritas terlihat dari pertimbangan lingkungan hidup sebagai faktor yang diperhitungkan ketika menyusun program dan besaran anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan dan program lingkungan hidup. Pemerhati lingkungan hidup pada tahun 2003 menilai keseriusan pemerintah dengan melihat persentase alokasi belanja untuk rencana wilayah/lingkungan hidup. Mereka menilai 1% alokasi untuk program lingkungan hidup dan tidak adanya keterkaitan antar sektor sebagai ketidakseriusan pemerintah. Maka kita akan menilai apakah pemerintah saat ini “ serius “ dalam menetapkan lingkungan hidup sebagai prioritas dalam mengalokasikan sumberdaya APBN 2010 dengan melihat besaran persentase belanja lingkungan hidup dan keterkaitan dengan sektor lain.
Dalam RPJM 2010-2014, dinyatakan bahwa tujuan perencanaan pembangunan nasional adalah sinergi antar bidang untuk memadukan pembangunan setiap bidang sehingga saling dukung dalam mencapai tujuan utama pembangunan nasional. Dalam kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan difokuskan pada salah satunya lingkungan hidup dengan tujuan menjaga lingkungan hidup/ekologi dari kehancuran atau penurunan kualitas. Pembangunan harus memperhatikan tiga indikator lingkungan hidup yaitu daya dukung lahan, daya dukung air dan udara. Maka pembangunan fisik harus memperhatikan dampak terhadap tiga indikator lingkungan tersebut sehingga tidak menurun kualitasnya. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan kebijakan penetapan standar baku mutu kualitas udara dengan indikator persentase program/kegiatan yang tidak memberikan dampak terhadap kualitas udara setempat.
Dalam APBN 2010, anggaran fungsi lingkungan hidup masih sekitar 1,1% dari total anggaran. Meskipun meningkat dari tahun 2009 yang hanya sebesar 0,9% namun persentasenya masih sama dengan tahun 2003. Menentukan apakah pemerintah memiliki komitmen untuk menjadikan lingkungan hidup sebagai fungsi strategis dan prioritas maka apabila mendasarkan pada penetapan lingkungan hidup sebagai salah satu pilar dalam pengarusutamaan pembangunan maka pemerintah sudah menjadikan lingkungan sebagai prioritas. Namun, praktik di lapangan membutuhkan pembuktian bahwa pemerintah memang menjadikan lingkungan sebagai stakeholder dalam setiap keputusannya. Sayangnya, kasus Ciwidey dan kasus kerusakan lingkungan seperti pertambangan batubara di Kalimantan maupun bencana alam akibat kerusakan alam menunjukan bahwa prioritas tersebut masih berbentuk komitmen rencana dan tulisan di atas kertas.
Simpulan
Pemerintah memiliki komitmen dalam menjadikan lingkungan hidup sebagai fungsi yang strategis dan prioritas dalam mengalokasikan sumberdaya dalam APBN. Hal tersebut terlihat dari penetapan kebijakan pengarusutamaan lingkungan. Komitmen tersebut perlu dibuktikan pada saat pelaksaanaan APBN sehingga outcome dan benefit bisa dibuktikan secara nyata.
Reference
- 1. Allen, Richard & Daniel Thomasi. 2001. Managing Public Expenditure : A Reference Book for Transisition Country. Paris : SIGMA.
- 2. Damayanti, Ninin. 2006. Kelalaian Ekologis Penyebab Bencana di Indonesia (online), (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/12/27/brk,20061227-90128,id.html, diakses terakhir 26 Februari 2010).
- 3. Dirjen Penataan Ruang dan Prasarana Wilayah. 2003. Penataan Ruang Dalam Pencegahan Bencana Banjir : Kasus Pulau Jawa Dan Kawasan Jabodetabek-Bopunjur. Makalah disajikan dalam Workshop Persiapan 3rd World Water Forum Departemen Pekerjaan Umum, Bali , 31 Januari– 1 Februari 2003.
- 4. Anonim. 2010. 151.277 Tewas Akibat Bencana Selama 1997-2009 (online), (http://www.antara.co.id/berita/1267116298/151277-tewas-akibat-bencana-selama-1997-2009 diakses terakhir 26 Februari 2010).
- 5. Anonim. 2010. Kerugian materiil akibat bencana alam 2009 Rp 4 triliun (online),(http://www.kabarbisnis.com/umum/nasional/289571-_Kerugian_materiil_akibat_bencana_alam_2009_Rp_4_triliun_.html, diakses terakhir 26 Februari 2010).
- 6. Anonim. 2007. Dana Pembangunan Lingkungan Hidup (http://environmentalism.wordpress.com/2007/04/09/dana-pembangunan-lingkungan-hidup/, diakses terakhir 26 Februari 2010).
- 7. Undang-Undang No. 47/2009 tentang APBN 2010. 2009.
- 8. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
No comments:
Post a Comment