Parlemen saat ini amat gemar membuat kehebohan. Keterbukaan informasi dan maraknya tayangan siaran langsung rapat para anggota dewan membangkitkan gairah popularitas karena mereka tidak menjadi selebritas. Saat ini mereka menyuarakan ide brilliant tentang dana aspirasi. Argument mereka adalah pertanggungjawaban kepada pemilih, memenuhi proposal permintaan dana yang masuk ke para anggota dewan, hingga menjembatani kekurangan dana pembangunan daerah yang miskin fiskal. Pada saat yang sama, banyak resistensi yang muncul baik dari pemerintah maupun organisasi masyarakat. Pemerintah terang-terangan menolak karena banyak melabrak tatanan yang ada. Tapi apa daya, beberapa anggota dewan yang terhormat memang kupingnya terbuat dari logam sehingga mereka memang bebal. Mereka memaksa ide ini menjadi isu prioritas bahkan mengancam akan menyandera APBN 2011.
Saya tergerak untuk berpikir dengan keras atas masalah dana aspirasi. Beberapa bulan lalu, saya mengikuti kuliah umum Dirjen Perimbangan Keuangan, Bapak Mardiasmo di BPPK. Beliau menjelaskan cakupan tugas beliau. Ada banyak dana ditransfer dari pusat ke daerah melalui berbagai mekanisme yang disusun sedemikian rupa agar adil. Ada dana bagi hasil sehingga daerah kaya akan mendapat bagian sesuai dengan kekayaannya, ada juga dana perimbangan untuk mengisi keseimbangan fiskal antara daerah kaya dan miskin sehingga daerah miskin mendapat porsi yang lebih besar hingga dana otonomi khusus. Mekanisme ini diciptakan sebagai wujud desentralisasi pembangunan sekaligus meratakan pembangunan. Tidak ada lagi istilah daerah emas atau daerah bawang. Maka saya merasa heran apabila pemerataan pembangunan menjadi dasar berargumentasi.
Alasan proposal dari konstituen menunjukan mereka tidak matang dalam berdemokrasi. Hanya oportunis-oportunis pencari kekuasaan. Ini adalah cikal bakal politik uang. Mereka bisa berargumen dengan mengatakan “ apabila kami tidak melakukan pendekatan ini maka mereka tidak akan mendukung kami”. Lalu, saya berpikir bahwa saya tidak akan memilih wakil yang hanya berpikir demikian. Saya ingin wakil yang berani maju karena memiliki kapasitas dan kualitas sebagai anggota dewan. Bukan wakil seperti itu. Ini bukan demokrasi yang sehat menurut saya. Para anggota dewan harus berani menjawab tidak apabila tidak memiliki uang untuk memberikan sumbangan atau bahkan mengarahkan proposal pembangunan itu ke instansi yang berwenang. Saya pikir cara yang demikian adalah cara yang benar dalam mendidik masyarakat untuk berdemokrasi.
Ada banyak aspek lain yang bisa kita gali dari ide dana aspirasi ini namun saya yakin bahwa ide ini adalah cara yang tidak benar dan rawan korupsi. Saya ingin mengutip komentar salah satu anggota dewan dalam sebuah diskusi yang diadakan di Jakarta bahwa mereka berani berdosa asal rakyat sejahtera. Kenapa mereka tidak berani berpahala agar rakyat sejahtera. Bukankah itu lebih benar. Saya tidak sepakat dengan cara Robin Hood karena mencuri dan membagikan hasil curian adalah dua aktifitas yang berbeda. Bagi saya, kalimat berdosa asal sejahtera sama dengan pelacur yang ditanya kenapa melacur kemudian dia menjawab bahwa dia melacur untuk menghidupi keluarganya. Kedua-duanya dangkal pemikiran dan cara. Banyak cara yang benar untuk menyejahterakan rakyat, hai anggota dewan!
No comments:
Post a Comment