Salah satu kesenian yang terkenal di Garut adalah seni ketangkasan adu domba. Domba garut sohor dengan fisik yang tinggi seperti kambing, berbulu tebal dan tanduk yang besar untuk domba jantannya. Domba ini endemik karena ideal diternakan di daerah Garut yang dingin. Dengan fisik yang tangguh, saling adu domba jantan dengan saling menanduk menjadi kesenian rakyat Garut. Saya sendiri kurang tahu, sejarah awal budaya seni adu domba.
Kami mengunjungi tempat adu domba di suatu areal lapangan di tengah sawah. Pemandangannya sungguh menakjubkan karena di hari yang cerah, di tengah hamparan sawah hijau, kami bisa melihat pegunungan yang memutari Garut. Katanya ada gunung Manglayang hingga gunung Soeharto. Saya sendiri sempat mengambil beberapa gambar di sana.
Lapangan adu domba dibentuk berbentuk bujur sangkar dengan pembatas pagar setinggi pinggang mengelilingi empat sisinya. Ada saung-saungan dengan tempat duduk sederhana untuk penonton dan dibelakangnya ada terpal membentang dan patok-patok untuk menambatkan domba di bawahnya. Suasananya meriah karena ada seorang pembawa acara yang memandu jalannya adu domba. Si pemandu juga ditemani sekelompok pemusik tradisional sunda degung dan sinden sehingga irama rancak berpadu dengan nyanyian sinden merangsang para penonton untuk berjoget. Suasananya sungguh meriah bahkan banyak anak kecil yang berjoget di depan panggung. Beberapa anak kecil itu adalah anggota dari kelompok pemilik domba adu yang bertugas memeriahkan suasana lomba.
Dua domba yang diadu sesuai kelasnya akan dibawa masuk ke dalam lapangan. Mereka punya nama yang unik seperti Black Berry, Madonna hingga Kaisar. Nama-nama itu biasanya diambil dari fisik si domba seperti Madonna yang memiliki bulu blonde di sekitar lehernya. Dua domba akan beradu tanduk hingga maksimal dua puluh kali. Kadang-kadang ada domba yang tidak mau beradu sehingga kabur dari lapangan atau pingsan sebelum dua puluh kali beradu. Kalau demikian, lomba akan dihentikan. Di sisi lapangan, ada sekelompok juri yang memberikan penilaian untuk menentukan domba juara. Saya sendiri menonton dengan excited karena ini kali pertama melihat langsung domba besar saling beradu. Meriah. Saya dan Sandi pulang setelah ada seekor domba yang pingsan hingga jatuh lalu digotong keluar lapangan. Suasananya heboh sekali saat domba digotong terutama ibu-ibu yang langsung teriak “ Wah, dosa ini … “. Well, saya heran dengan si ibu yang baru sadar dengan dosa saat dombanya sudah semaput.
Kata Sandi, harga domba pemenang bisa melonjak hingga jutaan rupiah. Sayangnya, acara ini kurang dikelola dengan baik padahal kami melihat beberapa sumber penerimaan dari pengadaan acara ini. Semoga Dicky Chandra, sang wakil bupati Garut, membaca bukunya Ted Gaebler “ Reinventing Government”.
NB : Mas Sandi, photonya belum bisa saya upload. there is trouble with my BT device. Anyway, kalau nulisnya kayak gini, rasanya kayak baca buku catatan seorang demonstran : kronologis sekali. :-D
3 comments:
Koreksi nama gunungnya Din. Gunung Manglayang itu di sebelah timur laut Bandung, tepat di atas UNPAD jatinangor.
Sedangkan yang berada di sebelah utara arena kemaren Gunung Kaledong. Gunung yang saya ceritakan sebagai milik keluarga Cendana (dulu-entah kini) adalah Gunung Haruman. Sebelah Selatan arena adalah Gugusan Gunung Mandalawangi, yang tepat di belakangnya adalah Gunung Cikuray yang gundul karena kebakaran hutan puluhan tahun lampau yang di kakinya kita berendam air panas. Terus ke selatan akan berurutan berbagai kawah Kamojang, Darajat hingga Gunung Papandayan.
http://twitter.com/Aasandi
mantap ... nt itu luar biasa dalam menghafal detail sejarah dan lokasi :-D
kl mo kelokasi adu domba aksesnya lewat mana gan saya mau minta tlng infonya dong krn minggu ini
mo ada tamu dari belgia
Post a Comment