Wednesday, 17 March 2010

Jurnal



Sudah lebih dari satu bulan, catatan enigma tersimpan di bawah tumpukan buku-buku kuliah dan tugas-tugas. Saya merasakan kemanusiaan saya kembali : bosan dan capek dengan apa yang ada. Bosan dengan kuliah yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya dan capek dengan harapan maupun tekanan kepada saya. Anyway, saya gak bakal cerita masalah bosan dan capek saya tapi saya ingin release the burden saja. Katanya, menulis bisa menjadi terapi dari stress dan saya ingin membuktikan saja. Menulis dengan bebas, tanpa panduan buku putih, menulis dengan lepas tanpa pretensi atau ekpektasi poin tertentu atas apa yang kita tulis. Menulis dengan jujur. Saya akan tuliskan apa yang ingin saya tulis.

Saya kecanduan Miiko lagi. Miiko adalah komik anak-anak yang isinya cerita anak SD kelas lima, cewek, imut dan ceria. Sampai hari ini, saya dah beli hampir delapan buah komik Miiko. Dua atau tiga tahun yang lalu, saya punya komik Miiko tapi ketinggalan di kost-an TPP. Apa sih yang membuat saya membeli Miiko padahal -mungkin- banyak situs online yang punya readable komik yang free. Ada beberapa alasan yaitu saya suka mengoleksi hard copy edition kalau itu berharga, ceritanya ringan dan mengajarkan beberapa hal baik buat anak-anak dan saya berharap koleksi saya bisa bermanfaat buat teja, fatih, jani, meera dan keponakan-sepupu ku yang lain. Cinta monyet antara Miiko dan Tapei selalu berhasil membuat saya tersenyum, yakin dengan indahnya cinta atau apalah yang membuat hati ini menghangat. Cinta Miiko dan Tapei itu jujur dan tanpa prasangka apa-apa. Deuh, padahal saya aja masih belum menemukan apa yang namanya suka atau cinta dimana kita mati-matian pengen memilikinya. Saya suka sekali lalu hilang dengan sendirinya karena waktu sukses besar mengikisnya. Saya jadi ragu dengan omongan cinta sejati. Bagi saya-sampai saat ini- itu hanya ide yang belum terbukti.

Omongan dan pikiran Gambir membuat saya ngeh lagi kalau sosialisasi pertama dalam masa perkembangan manusia - yaitu pada saat masih anak-anak- itu kritis dan esensial bagi sisa hidupnya nanti. Lalu saya berpikir dengan dalam, bagaimana apabila ada anak yang mengalami abusing sehingga proses tumbuh kembangnya tak sempurna lalu di masa dewasanya mengalami satu disorder. Katakanlah begini, seorang anak perempuan yang mengalami sex abuse pada usia dini menimbulkan trauma pada hubungan sex, orang asing dan sebagainya. Kalau dia memilih untuk selibat, lalu apakah dia salah sepenuhnya. Sayangnya waktu bukan suatu entitas yang bisa dipersalahkan karena kita tidak bisa menuding masa lalu sebagai biang keroknya kalo dimasa yang akan datang ada yang menggugat keputusannya. Saya bisa merasakan pergulatan Gambir untuk mengambil pisau belati kemudian menusukannya ke tubuh ibu bapaknya yang biasa menganggapnya sebagai objek pelampiasan ketidakpuasan pada masa lalu. Salah Gambir sepenuhnya? Hari ini, banyak sekali berita tentang child abuse dalam berbagai format yang dilakukan orang tuanya sendiri atau pihak lain. Saya berharap mereka berpikir panjang tentang apa yang mereka lakukan. Kalau mereka melakukan abusing kepada satu orang dewasa maka luka akan sebatas codet di kulit dan sakit hati saja. Tapi hal yang sama tidak bisa dipersamakan pada anak-anak. Kalaupun mereka pikir, anakku lahir dari rahimku maka dia adalah milikku maka saya katakan jangan punya anak kalau tidak mau punya anak. Bagi saya, ini adalah hal yang menyedihkan dan tragis apabila Gambir lain ada.
 
Copyright 2009 Catatan Enigma. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator